Translate

Senin, 08 Februari 2021

Demostrasi Filosofis Pengetahuan Budaya dan Filsafat Tentang Isu-Isu Teologis


Sumber gambar: diambil dari buku "the hermetic museum" karya Arthur Edward Waite, hal.597

  Terkadang sebagian orang berpendapat tentang filsafat adalah ilmu yang mengawang-awang, mengawang-awang bisa berarti: terlalu tinggi dan rumit, sehingga tidak mudah di pahami oleh seseorang yang tidak terbiasa dengan pola pikir filsafat. Akan tetapi mengawang-awang juga bisa diartikan sebagai tindakan yang tidak realistis karena tanpa tindakan serta tidak realistis, konyol dan kurang kerjaan. Filsafat tampak sebagai verbalisme kosong serta tidak ada maknanya, ketika ilmu pengetahuan empirik dan teknologi menghasilkan sesuatu pasti dengan dengan penelitian atau riset lebih lanjut, demikian banyak hal kongkret yang mengubah kehidupan manusia secara mendasar. Ketika filsafat disandingkan dengan sains filsafat seperti bualan yang menyembunyikan kekosongannya dalam istilah-istilah abstrak yang dirumit-rumitkan.

  Lebih mengkhawatirkan lagi jika dalam situasi seseorang yang penuh antusiasme keagamaan yang tinggi. "Filsafat biasanya dipandang sebagai kebebasan untuk bernalar yang liar dan arogan" hal seperti ini dapat mengakibatkan kekacauan dalam eksegesis yang merujuk pada klaim bahwa penafsiran yang dimentahkan dianggap eisegesi yang mengarah ke pada kemurtadan atau bahkan gejala kegilaan oleh karena itu diperlukan pengetahuan lebih tentang hal ini, bukan hanya pengetahuan seperti orang awam.

  Filsafat sesungguhnya tidak senegatif seperti pemaparan diatas. Pada dasarnya filsafat gerak nalar yang wajar, aliran pikiran yang pada titik tertentu tidak bisa dibungkam dan dihentikan, untuk mempertanyakan berbagai realitas yang terjadi bahkan "menyentuh ranah bagaimana aku ada?".

  Filsafat adalah sistematis pengalaman bernalar serta kecendrungan ingin tahu, yang sudah kita miliki sejak kanak-kanak. Pengalaman yang bergulat dengan daya pikir dan realitas hendak merumuskan kerumitan dirinya yang sebenarnya tak terumuskan, supaya upaya tanpa akhir untuk memahami kenyataan yang mungkin tak akan pernah tuntas terjelaskan.

A. Budaya filsafat

   Budaya ber filsafat dipengaruhi oleh mitos-mitos seperti halnya para filsuf Yunani. Mitologi Yunani yang terkenal di tahun 700 SM dari karya Homer dan hesiod, menggambarkan dewa-dewi yang sama seperti manusia yang juga memiliki emosi, cinta dan fikiran yang sama dengan manusia, setelah mitos berkembang beranjak ke dunia sastra sehingga membuka kemungkinan untuk menjadi bahan diskusi.

  Pada awal era filsuf Yunani mengkritik mitologi Homer sebab para dewa terlalu menyerupai manusia dan sama egois serta curangnya dengan manusia, untuk pertama kalinya dikatakan bahwa mitos-mitos itu tidak lain dari pemikiran manusia. Salah satu pendukung pandangan ini adalah xenophanes, yang hidup sekitar 570 SM "manusia menciptakan dewa-dewi sesuai dengan bayangan mereka sendiri" mereka percaya bahwa dewa-dewi sama halnya dengan manusia dilahirkan serta memakai pakaian yang sama dengan mereka serta berbahasa sama dengan mereka, seperti halnya dengan mitologi orang Etiopia, mereka percaya kalo dewa mereka itu berkulit hitam dan berhidung rata atau pesek.

  Berkembang orang-orang Yunani yang membuka kota-kota kecil serta koloni yang banyak menyebar sampai ke Asia kecil mengembangkan kebudayaan helenistik di Eropa dan sekitar Italia. Orang Yunani lebih mengedepankan ilmu pengetahuan sehingga pekerjaan kasar dan rumah tangga, sehingga orang-orang Yunani hanya berfokus pada perkembangan pengetahuan dan kebudayaan, hal ini yang membuat kebudayaan helenis berkembang dengan pesat.

 Pesatnya perkembangan kebudayaan Yunani dan kepercayaan kepada dewa-dewi dalam perkembangan mitos Yunani, dalam polyteisme ada seseorang yang berfikir ilahi dan spiritual "theion to kau daimonion" atau bisikan gaib "daimonion fone" yang selalu datang sejak masih kanak-kanak, untuk menuntun mengatakan sesuatu yang positif, seorang filsuf dari tahun 470-399 yang mempercayai "ho theos" (Allah atau sang Allah) serta menolak "hoi theoi" (politeistik) Sokrates adalah seorang yang berfikir bagaimana Allah yang tunggal atau sang Allah itu tanpa dimengerti.

  Jauh sebelum Sokrates mengenal bisikan gaib yang di percayai sebagai daimonion fone sebagai suara Allah yang monoteisme, jauh sebelum Sokrates berfikir tentang monoteisme bangsa Smit sudah mengenal Allah yang tunggal. Agama yang berkembang hingga saat ini Yahudi, Kristen dan Islam. Penahklukkan daerah-daerah jajahan, membuat akulturasi kebudayaan helenis dengan kebudayaannya sehingga sinkritisme kebudayaan terjadi. Akan tetapi hal itu tidak berpengaruh dengan kebudayaan di Israel mereka tetap mempertahankan keimanan mereka dengan mempertahankan keautentikannya yaitu sunat, dan banyak orang yang tertarik dengan ajaran Yahudi akhirnya hanya menjadi proselit dimana "seseorang yang mengambil langkah akhir yang menuntut sunat dan korban, pengikut baru agama Yahudi yang disebut orang-orang yang takut akan Tuhan atau para penyembah YHWH" Kisah Para Rasul 13:16 dan 16:14.

   Pengenalan perjanjian baru melalu karya penyelamatan Yesus membawa titik terang baru, dalam karya penyelamatan yang universal walaupun Yesus merupakan keturunan Yahudi tetapi ajaran tentang etika yang dibawanya membawa kepada era baru kekristenan yang di bawa oleh para muridnya dan Paulus sebagai rasul yang mengajarkan ajaran Kristus dari dari antiokia sampai ke Roma.

   Ketika Paulus di Athena Paulus bertemu dengan ahli pikir (filsuf) dari golongan stoa dan epikuros. Kisah Para Rasul 17:17, 23 Paulus mendatangi rumah ibadat dan bertukar pikiran dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang yang takut akan Allah, serta di pasar dengan orang-orang yang dijumpainya. Salah seorang menganggap Paulus adalah "si peleter" pada suatu waktu Paulus dibawa ke Areopagus melalui dialog Paulus yang mengatakan tentang penyembahan banyaknya patung dan dewa-dewa Paulus melihat ada satu Mesbah yang bertuliskan "Kepada Allah yang tidak dikenal" dan Paulus menggunakan pendekatan berdialog dengan mengenalkan agamanya dengan melihat budaya ritus di Athena (Kisah Para Rasul 17:23).

B. Isu-isu Teologis

  Seperti halnya kita melihat sebuah pohon apel di pinggir sungai yang alirannya deras, suatu ketika kita pohon apel tersebut berbuah dan buahnya jatuh kesungai yang aliranya deras, apel itu terseret arus sampai ke hilir sungai ketika ada seseorang yang menemukan apel tersebut pasti orang berfikir dimana asal dari apel tersebut. Mereka berfikir pasti dari sebuah pohon di hulu sungai, dan mereka hanya bisa membayangkan bentuk poho-nya.

  Kebanyakan dari kita pasti berfikir seperti itu, kita mendapatkan masing-masing sebuah apel dan berfikir ini adalah arus dari apel yang membawa kemari, dengan membayangkan proses datangnya apel tersebut serta bentuk pohon. Kita menangkap gambaran sebuah pohon itu sama seperti iman, untuk apa kita diciptakan?, dari mana kita akan berpulang?, Bagai mana kita percaya pada sesuatu yang mistik? serta siapa pencipta kita? Hal itu terus menjadi pertanyaan dan perdebatan antar pemeluk agama.

  Seperti halnya teologi helenistik berusaha untuk mengatakan risalah yang dikatakan oleh Socrates, Plato dan Aristoteles corak umum filsafat adalah hasrat terbaik bagi manusi dalam menjalankan kehidupan dan kematian. Semua pembicaraan tentang etika dalam peradaban baru inilah proyek filsafat yang utama, tekanan yang terbesar diberikan kepada upaya menemukan apakah kebahagiaan sejati itu serta bagaimana mencapainya tanpa sesuatu yang mengekang itu yang hendadi diharapkan para filsuf.

  Isu-isu yang berkembang dalam teologi adalah hasil dari pemikiran filosofis tentang hakekat dalam diri manusia, akan tetapi seseorang dapat menyalah artikan atau menafsirkan secara liar, akan tetapi itu semua sebagai salah satu proses dari berfilsafat itu sendiri, dimana mencari kebenaran yang dipegang haruslah melalui prose dari berfikir, dimana mencari kebenaran yang dipegang haruslah melalui prose berfilsafat sampai menemukan hakekat yang utama.

 Filsafat memampukan kita menyusun sendiri pegangan diantara berbagai informasi dan pendapat yang membingungkan, memampukan untuk merumuskannya pengalaman. Ketidak mampuan berfikir secara abstrak filosofis mudah mengakibatkan kerancua-kerancuan berfikir menyediakan dan berbahaya. Filsafat terlihat mengawang-awang dan abstrak, akantetapi proses abstrak tersebut diperlukan untuk menerangi pengalaman dan melihat akar dasar tersembunyi dibalik segala proses konkret.

 Meskipun filsafat adalah kegiatan olah nalar, yang sebenarnya digumuli di sana adalah dinamika jatuh bangun pengalaman, kebutuhan mendasar atas makna dan arah kehidupan, kebutuhan tentang misteri-misteri kehidupan dapat dijelaskan dan dipahami, kebutuhan untuk mengerti apa yang sesungguhnya di inginkan oleh jiwa itu sendiri.


Sumber:

Jostein Gaarden, Dunia Sophie Sebuah Novel Filsafat.

Iones Rakhmat, Sokrates dalam Tetralogi Plato Sebuah Pengantar dan Terjemahan teks

Ensiklopedi Alkitab.

RAS, ETNIS, DAN GENDER

(Kejadian 1-2; Keluaran 22:21; Lukas 10:25-36; Roma 10:12;)  Pendidikan Agama Kristen dan Budipekerti Kelas XII  Tujuan Pembelajaran  Mengan...