Belajar dari Tokoh T.B. Simatupang dan Eka Darmaputera
Bahan Alkitab: Matius 22:39; Roma 14:13–23
Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti Kelas XI
Tujuan Pembelajaran :
- Memperjelas arti iman Kristen dan Pancasila.
- Memperjelas peran tokoh solidaritas beragama.
- Menuliskan makna kehadiran tokoh-tokoh dialog antarumat beragama.
- Menyimpulkan arti pluralisme, persaudaraan, dan solidaritas.
Pada Bab 8 kita akan belajar tentang dua tokoh yang menghubungkan antara iman Kristen dan Pancasila. Kedua tokoh tersebut tidak hanya terkenal di Indonesia, tetapi juga di dunia. Sekalipun mereka berkarya pada dua “dunia” yang berbeda, keduanya berjumpa pada satu visi dan misi yang sama, yakni membangun Indonesia yang majemuk dengan landasan Pancasila.
Coba dengarkan Lagu ini : Satu Tanh Air
Nyanyian di atas menegaskan tentang realitas Indonesia yang beragam suku, bahasa, dan budayanya. Keragaman itu memanggil setiap orang untuk membangun toleransi dan solidaritas. Untuk itu, di buku kerjamu atau di kertas lain, tuliskanlah tanggapan kalian atas syair lagu tersebut!
Tulis jawabanmu dengan menekan:
Tahukah kamu bahwa Indonesia telah diberkati dengan tokoh-tokoh Kristen yang memiliki karya yang besar? Nama-nama pahlawan seperti Christina Martha Tiahahu dari Maluku, Alexander Andries Maramis dari Sulawesi Utara (atau biasa dikenal dengan nama A.A. Maramis) yang menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), bahkan pernah menjadi menteri keuangan yang menandatangani uang pertama Indonesia, yakni Oeang Republik Indonesia. Nama lain yang juga harus kalian kenali adalah Kapitan Pattimura dari Maluku, Wilhelmus Zakaria Johannes sebagai “Bapak radiologi pertama Indonesia” yang juga pernah menjadi anggota Badan Pekerja Komite Indonesia Pusat, yang kemudian menjadi KNIP. Sebagai dokter yang andal, beliau juga pernah menjabat sebagai presiden (sekarang rektor) Universitas Indonesia. Nama beliau sering melekat di Rumah Sakit untuk mengenang jasa dan karya beliau. Putra asli Pulau Rote, NTT, ini berkarya terus sekalipun pernah mengalami kelumpuhan kaki.
Nama-nama tersebut di atas tentu penting untuk kalian ingat dan perhatikan sebab mereka menjadi peletak dasar bangsa Indonesia dengan mempertahankan kesadaran bahwa Indonesia beragam. Mereka memperjuangkan imannya, sekaligus membuka ruang untuk toleransi. Apa yang diperjuangkan bukan hanya sekadar iman, melainkan juga sikap terhadap realitas keberagaman Indonesia yang harus dibangun dengan toleransi yang kuat dan dilandasi pada Pancasila sebagai dasar negara.
Pada kesempatan ini, kalian juga akan belajar dan menyimak dua tokoh gereja yang memberi perhatian pada pluralisme dan solidaritas kebangsaan. Dua tokoh ini benar-benar bertumpu pada imannya, memperjuangkan nilai-nilai kristiani, dan memandang pluralitas sebagai realitas yang harus disambut. Kedua tokoh tersebut adalah Jend. T.B. Simatupang dan Pdt. Dr. Eka Darmaputera.
Tahi Bonar Simatupang (T.B. Simatupang) atau biasa dipanggil Pak Sim adalah sosok penting dalam perjalanan negara dan gereja. Beliau lahir di Sidikalang, Sumatera Utara, pada 28 Januari 1920. Beliau meniti karier sebagai tentara dengan bergabung di Tentara Keamanan Rakyat atau TKR (sekarang Tentara Nasional Indonesia atau TNI) dan mencapai puncak kepemimpinan sebagai Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP) Republik Indonesia pada tahun 1950, ketika usia beliau masih 29 tahun dengan pangkat bintang tiga atau letnan jenderal. Ini merupakan sebuah prestasi luar biasa bagi seorang yang masih muda belia dengan jabatan dan bintang yang sangat tinggi. Jabatan ini diembannya karena wafatnya Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Namun, yang perlu kalian perhatikan bukanlah sekadar prestasinya yang gemilang. Bagi T.B. Simatupang, hidupnya harus berjalan seiring dengan panggilan Allah. Beliau bahkan mengungkapkan bahwa dirinya adalah orang yang berutang: berutang kepada Allah, berutang kepada negara, juga berutang kepada keluarga. Bayangkanlah, orang sebesar beliau masih saja merasa punya utang bagi negeri ini. Beliau menekankan agar Indonesia harus tetap tegak dengan landasan Pancasila. Kerangka berpikirnya adalah kreatif, positif, kritis, dan realistis. Keempat hal ini harus tampak agar Indonesia tidak menjadi negara yang hanya berpijak pada kemajuan teknologi, tetapi juga harus melandaskan sisi positif yang terus berkembang dan bertumbuh.
Dalam seluruh pemikirannya, T.B. Simatupang dipengaruhi oleh tiga tokoh Karl, yakni Carl von Clausewitz yang memberinya inspirasi dalam strategi militer, Karl Barth, sang teolog Protestan terkemuka abad ke-20, dan Karl Marx, seorang filsuf, ekonom, politisi, dan sosiolog dari Jerman. Pemikiran mereka sangat memengaruhi cara T.B. Simatupang dalam menentukan arah pikirannya.
Gambaran lain tentang Pancasila dikemukakan oleh T.B. Simatupang. Hampir seluruh kajian dan pemikirannya dicurahkan untuk membangun Indonesia dalam ideologi Pancasila itu. Bagi T.B. Simatupang, Pancasila memiliki daya tarik dan emosionalnya tersendiri. Pancasila adalah sebuah ideologi, sekaligus pandangan hidup (Simatupang 1996, 10). T.B. Simatupang juga menegaskan bahwa Pancasila telah memberikan banyak inspirasi. Orang-orang Kristen dapat memahami kelima sila Pancasila, khususnya sila pertama, dengan keyakinan bahwa di dalam keyakinan kepada Allah, sebenarnya orang-orang dapat melakukan dialog secara terbuka dan terusmenerus dengan sikap saling menghargai demi tanggung jawab bersama (Simatupang, 1984, 12–13).
Sumbangsih T.B. Simatupang bagi perkembangan gereja pun sungguh sangat banyak. Di samping sebagai seorang jenderal, beliau juga pernah menjabat sebagai ketua Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) atau yang kalian kenal sekarang dengan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Sumbangsih pemikiran beliau bagi negara dan gereja sungguh-sungguh patut mendapat acungan jempol. Jenderal T.B. Simatupang menuangkan pikiran dan sumbangsihnya melaui tulisan dan berbagai ceramah, baik untuk bangsa maupun untuk gereja, di dalam dan di luar negeri.
Sebagai sosok yang banyak berkutat di dunia militer, Pak Sim tidak pernah berhenti berjuang. Ia terus-menerus menulis pada berbagai media cetak (surat kabar) yang merupakan salah satu media untuk memberdayakan masyarakat selain televisi yang saat itu hanya ada satu di Indonesia, yakni Televisi Republik Indonesia (TVRI), dan radio. Pemikirannya yang brilian banyak dituangkan dalam media nasional maupun internasional. Di samping aktif dalam lembaga gereja di aras nasional dan internasional, Pak Sim juga aktif di dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Aktivitasnya di Universitas Kristen Indonesia memberi ruang bagi beliau untuk terus berkiprah dan menuangkan gagasannya untuk membangun Indonesia dan tentu juga gereja di dalamnya.
Tokoh lain yang juga perlu kalian simak adalah Pdt. Dr. Eka Darmaputera. Beliau adalah aktivis nasional yang menginspirasi gereja-gereja untuk memahami keterkaitan antara gereja dan negara. Bagi Pak Eka (demikian beliau biasa disapa), gereja harus hadir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pdt. Eka, yang lahir di Mertoyudan, Magelang, pada 16 November 1942 ini benar-benar konsisten dalam memperjuangkan kehadiran gereja dalam negara.
Kiprah dan pelayanan Pdt. Eka sangat luar biasa. Beliau aktif sebagai ketua Senat Mahasiswa saat masih kuliah dan anggota Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia. Di usia yang sangat belia, masih sekitar 27 tahun, beliau menjadi ketua Moderamen Sinode Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat, sebuah jabatan tertinggi di sinode sebuah gereja, juga menjadi dosen di almamaternya, Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (sekarang dikenal dengan nama Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta).
Eka Darmaputera memberikan perhatian sangat besar pada Pancasila dengan disertasinya, yang telah dibukukan dengan judul Pancasila: Identitas dan Modernitas. Dalam buku itu Eka Darmaputera menekankan bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi yang sangat diperlukan oleh masyarakat Indonesia yang majemuk karena ideologi ini bersifat inklusif (terbuka). Sebagai masyarakat majemuk, Indonesia membutuhkan Pancasila yang sungguh-sungguh merangkul kebersamaan tersebut. Bagi Eka Darmaputera, rangkulan dan kebersamaan dalam negara Pancasila ini harus benar-benar diwujudkan dalam kebebasan memeluk agama bagi seluruh masyarakat yang ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 29, dan karenanya kebebasan itu harus dijamin (Darmaputera 1997, 110–111).
Pak Eka, demikian beliau biasa disapa, adalah sosok yang mengembangkan pemikiran ekumenis. Bagi Pak Eka, realitas Indonesia yang majemuk harus diisi dengan pemikiran kebersamaan melalui dialog dan kerja sama antarumat beragama. Gagasan ini kemudian dituangkannya dalam sebuah komunitas yang melahirkan Dian/Interfidei, sebuah organisasi antariman yang berdomisili di Kaliurang, Sleman, Yogyakarta. Aktivitas Pak Eka yang memberi perhatian pada realitas kebersamaan di Indonesia telah memikat seminari teologi di Princeton, Amerika Serikat yang menganugerahinya Kuyper Prize for Excelence in Reformed Theology and Public Life, sebuah penghargaan yang sampai saat ini terus diberikan kepada para teolog Indonesia atas berbagai karya yang mereka kembangkan.
Keprihatinan Pdt. Eka sering dituangkan dalam tulisan di surat kabar, bahkan beliau, bersama T.B. Simatupang, banyak memberi sumbangan pemikiran bagi bangsa dan gereja agar bangsa dan gereja terus bertumbuh di tengah masyarakat majemuk. Kerangka pemikiran kedua tokoh ini dituangkan untuk menjawab realitas Indonesia yang majemuk (beragam, pluralis) tersebut. Untuk itu, dibutuhkan sikap toleransi terhadap kehidupan bangsa yang harus dibangun bersama berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dari dalamnya perlu dibangun sikap solidaritas terhadap semua orang mengingat banyak sekali perbedaan. Jika solidaritas tidak dibangun, kemajemukan atau pluralitas dapat terus-menerus berbenturan dan tidak akan dicapai kesatuan yang diharapkan.
Rangkuman
Kehadiran gereja dalam sebuah negara tentu sangat penting. Salah satu
cara hadir gereja dalam negara adalah melalui aktivitas para tokoh yang
pemikirannya diserap dan digunakan untuk pembangunan bangsa. Oleh
karena itu, gereja patut bersyukur atas kehadiran banyak orang dalam
negara ini, di antaranya T.B. Simatupang dan Pdt. Dr. Eka Darmaputera, dua
anak bangsa dan benih gereja yang telah memberi kontribusi bagi negara.
Pemikiran mereka tentang iman Kristen dan Pancasila serta solidaritas
dalam pluralitas menjadi sumber berharga bagi gereja dan bangsa.
Refleksi
Aku telah belajar dari banyak tokoh gereja yang terlibat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kini aku mau memiliki moto hidup sebagai remajapemuda gereja yang mencitrakan iman kristiani dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Aku akan mulai dengan spirit membangun imanku, dan mewujudkannya dalam keseharianku dengan karya bagi lingkungan sekitarku."
Tugas : Klik!!!
Doa
Bapa surgawi, kami bersyukur atas negeri kami, Indonesia yang kaya. Kami diperkaya dengan alam, keanekaragaman budaya, suku, agama, dan berbagai keragaman lainnya. Kini jadikanlah kami sebagai alat di tangan-Mu, ya Allah, untuk mewujudkan kasih-Mu bagi semua orang tanpa membeda-bedakan keragaman tersebut. Jadikanlah kami sebagai sarana kasih Allah di mana pun kami berada. Dalam kasih dan anugerah-Mu, kami berdoa.
Amin.
Sumber:
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA, 2021 Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti untuk SMA/SMK Kelas XI Penulis: Mulyadi ISBN 978-602-244-708-5 (jil.2)
