Bab II Melangkah Bersama Allah
Mazmur 139:13-14 Roma 8:38-39 2 Petrus 3:2-4
Tujuan Pembelajaran
- Memahami bahwa Allah hadir setiap saat.
- Mengakui kuasa Allah yang memberi kekuatan, sukacita dan damai sejahtera.
- Mensyukuri penyertaan Allah dalam kelahiran, pende-ritaan, dan kematian manusia
Apersepsi
Apakah kamu pernah merasakan sakit yang berat dan merasa tidak berdaya karena tidak yakin apakah bisa sembuh kembali atau tidak? Apakah kamu pernah merasakan kehilangan orang yang sangat dikasihi dan juga mengasihi kalian? Apakah kamu pernah merasakan begitu putus asanya saat menghadapi persoalan yang tidak kunjung selesai?
Banyak orang meragukan bahwa Allah betul-betul ada ketika melihat begitu banyaknya penderitaan di dunia ini. Bahkan, banyak orang yang memilih untuk tidak lagi mempercayai Tuhan karena merasa tidak ada gunanya kepercayaan seperti itu: Tuhan tidak membuat keadaan mereka menjadi lebih baik. Bahkan, ada juga yang memilih bunuh diri sebagai cara untuk bebas dari penderitaan dan keputusasaan yang dialami. Kita tidak perlu bingung mencari contoh. Situasi pandemi Covid-19 yang melanda dunia dengan jumlah kematian yang termasuk tinggi, yaitu mencapai 1,9 juta orang terhitung pada tanggal 8 Januari 2021 menjadi bukti bahwa virus ini ganas dan menyerang siapa pun; baik laki-laki, perempuan, muda, tua, kaya, miskin, pejabat, rakyat biasa, tenaga medis, orang awam, dan sebagainya. Bahkan, ada beberapa keluarga yang kehilangan anggota keluarga lebih dari satu karena terinfeksi Covid-19. Hal yang lebih mencengangkan adalah ritual agama yang mencakup ibadah bersama sekumpulan orang justru menjadi sumber menyebarnya virus. Wajar bila pertanyaan yang muncul adalah, “Bukankah Tuhan lebih besar dari Covid-19? Mengapa justru memuji dan menyembah Dia yang menyebabkan kematian?”
Allah Hadir dalam Kehidupan Manusia
Untuk memahami bahwa Allah sangat peduli terhadap apa yang terjadi pada manusia — suka-duka, senang-susah, sehat-sakit, lahir-mati — kita harus memahami rancangan besar yang Allah sedang siapkan untuk ciptaan-Nya.
Sproul (2009) menyatakan bahwa seluruh isi Alkitab menyaksikan Allah adalah kasih. Atas dasar kasih-Nya, Allah menciptakan dunia dan segala isinya. Penciptaan Allah yang digambarkan dalam Kejadian 1, mulai hari pertama hingga hari keenam adalah baik dan membawa sukacita bagi Sang Pencipta. Inilah yang mendasari seluruh karya Allah bagi alam dan ciptaanNya. Apalagi manusia, yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, jauh melebihi ciptaan-ciptaan Allah lainnya. Alkitab memberi gambaran yang jelas dan tegas bahwa Allah adalah kasih dan Allah sungguh mengasihi setiap manusia. Kasih Allah bukan hanya kepada kelompok tertentu saja, melainkan berlaku untuk semua. Pemberitaan para nabi dan kesaksian para penulis kitab yang tercantum di Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru menggunakan tema yang sama bahwa Allah adalah kasih. Sering juga dikatakan bahwa seluruh isi Alkitab adalah surat cinta Allah kepada manusia.
Sayangnya, walaupun manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, kejatuhan ke dalam dosa membuat manusia merusak citra Allah ini. Allah ingin supaya manusia mengalami perubahan sehingga berbalik arah menuju kondisi yang kembali serupa dengan citra Allah. Dengan cara-Nya yang ajaib, yaitu dengan mengorbankan Putra-Nya, Allah memberi kesempatan kepada manusia untuk kembali berdamai dengan-Nya. Akan tetapi, belum tentu manusia menyadari kebutuhannya untuk kembali didamaikan dengan Allah. Banyak yang tetap memilih untuk berada di jalannya sendiri yang malah membawa pada kehancuran. Allah tetap memberi kesempatan kepada manusia untuk mempraktikkan kehendak bebasnya, tetapi juga menunggu kapan mereka kembali ke jalan-Nya.
Bila saja manusia menyadari betapa kasih Allah kepada dirinya, ia tidak lagi mau hidup menurut keinginan dirinya sendiri. Kasih Allah hanya bisa dirasakan ketika manusia hidup dengan penuh ketaatan kepada Allah. Manusia yang menyadari dan merasakan kasih Allah akan mengakui seperti ungkapan Rasul Paulus ini, “Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” (Roma 8:38-39).
Perlu kita ketahui bahwa Kitab Roma ditulis oleh Paulus dengan nada berbeda dibandingkan dengan Kitab-kitab lainnya yang juga ditulis oleh Paulus (Witmar, 1985). Rasul Paulus belum pernah mengunjungi jemaat di Roma yang pada saat itu sudah terdiri dari dua kelompok: bangsa Yahudi dan bangsa non-Yahudi. Di antara kedua kelompok ini ada ketegangan. Kelompok Yahudi menganggap diri mereka lebih murni karena merupakan bangsa yang digolongkan sebagai umat Allah. Sebaliknya, mereka yang non-Yahudi menganggap bahwa Hukum Taurat hanya berlaku untuk bangsa Yahudi dan karena itu mereka tidak terlalu mengindahkannya. Paulus menyadari perbedaan pendapat ini dan ia menuliskan intisari tentang percaya kepada Allah melalui Tuhan Yesus Kristus. Dapat dikatakan bahwa di Kitab Romalah sangat jelas pemahaman iman yang perlu dimiliki oleh setiap orang percaya: keselamatan hanya diperoleh karena iman percaya, dan bukan karena perbuatan baik yang manusia lakukan. Untuk mereka yang hidup dalam Kristus, penderitaan menjadi bagian yang tidak terpisahkan, sama seperti Kristus juga sudah menderita karena menanggung dosa semua umat manusia. Namun, Rasul Paulus mengingatkan bahwa penderitaan karena mempercayai Yesus Kristus tidaklah sebanding dengan kemuliaan yang akan kita terima ketika kita bersama-sama dengan-Nya, “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” (Roma 8:18).
Rasul Petrus juga menegaskan kuatnya kasih Allah, “Karena kuasa ilahiNya telah menganugerahkan kepada kita segala sesuatu yang berguna untuk hidup yang saleh oleh pengenalan kita akan Dia, yang telah memanggil kita oleh kuasa-Nya yang mulia dan ajaib. Dengan jalan itu Ia telah menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan yang sangat besar, supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat Ilahi, dan luput dari hawa nafsu duniawi yang membinasakan dunia.” (2 Petrus 3:2-4).
Kini kita akan melihat kehadiran Allah dalam peristiwa-peristiwa penting yang dialami manusia, yaitu lahir, sakit, menderita, dan mati.
Renungkan ungkapan pemazmur seperti berikut, “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.” (Mazmur 139:13- 14).
Apakah kita bersikap seperti pemazmur, sungguh-sungguh menyadari keajaiban yang terjadi ketika kita bisa berwujud karena pembuahan sel telur ibu oleh sperma ayah, lalu bertumbuh menjadi semakin besar dalam kandungan dan lahir, malahan kini bisa hidup sampai saat ini? Apakah kita memang mensyukuri kelahiran kita?
Atau, kita seperti Ayub yang mengutuki hari kelahirannya karena secara bertubi-tubi mengalami kehilangan harta benda, anak, sakit yang berat, dimarahi istri, dan dijauhi oleh teman-temannya? Ini pertanyaan yang mengusik Ayub, “Mengapa aku tidak mati waktu aku lahir, atau binasa waktu aku keluar dari kandungan?” (Ayub 3:11).
Ketika mengalami perlakuan yang tidak enak dari orang-orang di sekitar kita, kita bisa memilih: tetap bertahan karena yakin akan hal-hal baik yang sedang direncanakan-Nya, atau memilih menyerah karena sudah tidak sanggup menanggung lebih lama lagi? Di atas telah dituliskan bahwa Tuhan selalu menginginkan yang terbaik untuk kita karena Tuhan sungguh-sungguh sangat mengasihi kita dan tidak ingin kita mengalai kebinasaan. Alkitab juga berisi banyak kisah bagaimana Yesus menyembuhkan yang sakit. Namun, bila kita bertemu dengan orang yang tidak sembuh malahan meninggal karena sakit yang dideritanya, apakah kita masih tetap meyakini bahwa rencana Allah tetap baik? Kisah Joni Eareckson Tada (2010) menolong kita memahami makna di balik sakit yang tidak tersembuhkan.
Joni Eareckson Tada, lahir tahun 1949, adalah bungsu dari empat anak perempuan yang lahir untuk John dan Lindy Eareckson. Karena ayahnya adalah atlet gulat, sejak masa muda Joni aktif dalam berbagai olahraga: berkuda, naik gunung, tenis, dan berenang. Pada suatu hari, Joni melompat ke Che-sapeake Bay, suatu muara di daerah Virginia, Amerika Serikat, tanpa menyadari bahwa sesungguhnya airnya tidaklah dalam. Akibatnya, ia mengalami patah tulang punggung yang mengakibatkan kelumpuhan tetraplegia atau quadriplegia (yaitu kelumpuhan pada kedua lengan, tungkai, dan otot dada). Hal ini membuatnya sering mengalami sesak napas. Usia 18 tahun ketika Joni mengalami kecelakaan ini adalah usia lazimnya orang menyelesaikan jenjang SMA dan siap meraih masa depan yang dicita-citakan, entah de-ngan langsung masuk ke dunia kerja atau menempuh pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Mengalami quadriplegia menjadi hambatan besar untuk meraih cita-cita. Selain ia tidak bisa membuat dirinya duduk atau berbaring, artinya ia selalu harus menunggu orang lain melakukannya, ia juga bahkan terus-menerus merasakan sakit yang luar biasa.
Namun, Joni bertekad untuk tidak menggunakan obat pengurang rasa sakit. Ia belajar untuk menerima ini sebagai konsekuensi logis dari penyakitnya. Frustrasi, marah, kesal, tidak berdaya dan bertumpuk perasaan negatif lainnya mewarnai hari-hari Joni. Selama dua tahun menjalani rehabilitasi, tidak jarang Joni meragukan apakah betul Tuhan ada dan apa masih ada gunanya mempercayai Tuhan. Ia sudah tidak tahan mendengarkan penghakiman yang sering diberikan oleh orang-orang lain, bahkan oleh sesama pengikut Kristus yang menyadari betapa parah sakitnya. “Pasti ada dosa tersembunyi yang kamu lakukan. Akui saja di hadapan Tuhan. Minta Tuhan tunjukkan apa dosamu itu dan bertobatlah. Pasti Tuhan sembuhkan.” Ucapan-ucapan seperti ini membuat Joni semakin terperosok jatuh ke dalam keadaan depresi, bahkan ia ingin bunuh diri.
Selama menjalani terapi, Joni belajar melukis dengan menggunakan kuas yang ditaruh di antara gigi-giginya. Ia berhasil menjual lukisan-lukisannya. Dengan cara yang sama — menjepit alat tulis dengan gigi-giginya — ia juga mulai menulis, tetapi ia lebih sering berbicara di hadapan mikrofon dan mesin yang kemudian mengubah suara menjadi teks. Sampai dengan naskah ini ditulis (8 Januari 2021), Joni sudah menyelesaikan lebih dari 40 buku, sejumlah album musik dengan dia sebagai penyanyi, membuat film yang mengisahkan kehidupannya (diedarkan tahun 1979), dan menjadi motivator untuk mereka dengan disabilitas.
Bagaimana Joni bisa “sukses” seperti itu? Tentu butuh waktu yang lama untuk mengakui bahwa Allah Maha Pengasih tetap hadir baginya. Pada awalnya, Joni rajin mengikuti berbagai ibadah penyembuhan karena melihat banyak orang yang sakit menjadi sembuh ketika didoakan.
Namun, pesan yang ia terima dari seorang misionaris, Henry Frost sungguh menguatkannya. Henry mengakui bahwa orang yang sakit pasti ingin kesembuhan dan mereka percaya bahwa Tuhan sanggup menyembuhkan. Akan tetapi, ternyata tidak semua yang berdoa meminta kesembuhan memperolehnya walaupun mereka sudah sangat sering berdoa. Satu hal yang pasti, yaitu mereka yakin bahwa saat sehat maupun sakit, hal yang jauh lebih penting adalah menggunakan hidup untuk memuliakan Tuhan. Keyakinan mereka bukan terletak pada kesembuhan yang tentunya diharapkan oleh setiap orang yang sakit, melainkan pada keyakinan bahwa Tuhan tetap berkuasa dan mengasihi mereka. Sembuh atau tidak adalah misteri Tuhan. Apakah mereka masih berdoa untuk kesembuhan? Tentu saja! Akan tetapi, merasakan bahwa Tuhan hadir di tengah-tengah rasa sakit yang begitu berat adalah jauh lebih membawa damai sejahtera. Salah satu ayat yang menguatkan Joni adalah, “Dan bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu.” (Mazmur 37:4).
Di sisi yang lain, jawaban Tuhan untuk doa kesembuhan adalah berbeda untuk Samuel Irwan dengan kisahnya sebagai berikut.
Samuel Irwan sudah melayani Tuhan sejak berusia 14 tahun, bahkan sudah menjadi pengkhotbah cilik pada usia 15 tahun. Keinginan untuk melayani Tuhan sepenuhnya diwujudkan dengan berkuliah di Sekolah Teologi Tawangmangu. Sebelum lulus, ia bernazar untuk siap melayani ke mana pun Tuhan mengutus dan menempatkannya. Setelah lulus, tahun 1993 ia ditempatkan di Kelurahan Mangkupalas, Samarinda, Kalimantan Timur. Ia meninggalkan kehidupan nyaman di Surabaya dan mencukup diri dengan gaji sebesar Rp 80.000,00 per bulan. Setelah dua tahun, saat menjalin hubungan dengan seorang gadis cantik, ia ragu-ragu bagaimana caranya bisa berumah tangga dan menghidupi keluarga. Kesaksian banyak hamba Tuhan yang sukses dalam pekerjaan tetapi tetap setia melayani Tuhan membuatnya berhenti bekerja dan melamar bekerja di tempat lain. Pesan gembala sidang, “Gereja memang nggak bisa memberikan gaji besar, tapi Tuhan mampu pelihara hidupmu.....” tidak berhasil membatalkan niat Samuel.
Kemahirannya menggunakan berbagai program di komputer serta berbahasa Inggris membuatnya diterima di sebuah perusahaan kayu, di Kalimantan. Lima bulan kemudian ia menjadi kepala produksi log di perusahaan kayu itu. Dengan gajinya, kini ia bisa mengontrak rumah, perabotan rumah tangga dan motor. Perkawinannya juga memberikan seorang putri. Tetapi keinginannya melayani Tuhan semakin redup.
Awal Januari 1998, Samuel merasakan masuk angin dengan gejala demam, tenggorokan sakit, dan mata merah. Oleh dokter mata, ia diberikan paracetamol untuk menurunkan demam. Demam tidak hilang dan kini muncul bintik-bintik merah di lengan disertai rasa sakit di telapak tangan dan kaki. Dokter umum memberikannya obat pembunuh virus. Jadi, Samuel minum obat dari dokter mata, dokter umum, dan beberapa obat flu serta jamu. Akan tetapi, bintik-bintik merah itu mulai melepuh dan gosong, dan mulai merambat sampai ke dada, tengkuk, leher, muka dan kondisi mata menjadi makin memburuk, semakin merah. Kerongkongan, rongga mulut dan lidah juga melepuh dan di kulit muncul gelembung berisi air dan nanah. Lima hari kemudian, ia dirawat di rumah sakit. Salah seorang anggota tim dokter yang menangani, seorang dokter kulit, mengatakan bahwa Samuel Irwan mengidap penyakit Stevens-Johnson Syndrome (SJS) stadium 3 dengan kondisi tubuh seperti orang yang terkena luka bakar 80%. Kecuali paha dan betis, seluruh kulit melepuh, gosong, dan bernanah.
Bayangkan penderitaan Samuel karena kalau ia tidak bergerak dengan hati-hati, sebagian kulit akan terkelupas dan menempel di sprei. Demam 42 derajat Celcius membuatnya menggigil sampai ranjang bergoyang seakanakan ada gempa bumi. Ia harus dimasukkan ke ruang isolasi supaya pasienpasien lain tidak tertular.
Suatu hari mata yang selalu merah itu seperti kelilipan dan Samuel meminta suster untuk menyiram matanya dengan boorwater. Ketika bangun tidur, ternyata kedua belah mata jadi putih semua. Ia tidak bisa melihat! Samuel marah kepada para dokter, perawat bahkan Tuhan. Di batas akhir kekuatannya, ia meminta ampun kepada Tuhan.
Dokter yang merawatnya merujuk Samuel ke rumah sakit di Surabaya. Malam sebelum berangkat, ia menyadari panggilannya kembali. Ia menyampaikan ke gembala sidang untuk berdoa minta ampun karena lari dari Tuhan. Ia berjanji jika Tuhan masih memberi kesempatan untuk hidup, ia akan melayani Tuhan sepenuhnya kembali. Saat akan naik tangga pesawat, seorang petugas membopongnya dan tanpa sengaja membuat kulitnya robek tertarik, membuat Samuel menjerit keras sekali.
Tim dokter yang menanganinya di Surabaya kaget melihat kondisi tubuh Samuel. Sebelumnya mereka pernah menangani pasien serupa dengan keparahan hanya sepertiga dari kondisi Samuel dan kemudian meninggal. Berdasarkan hasil rontgen yang menunjukkan bahwa lambung, pankreas, liver, dan bagian-bagian dalam tubuh semuanya rusak, diperkirakan Samuel hanya bisa bertahan 3 minggu, padahal ia sudah mulai sakit sejak 2 Januari 1998. Jadi, diperkirakan ia hanya bisa bertahan sampai 23 Januari 1998. Istri dan putri mereka yang berusia 2 bulan diminta menemuinya di Surabaya. Kalaupun sembuh, dokter kulit menyatakan butuh waktu dua tahun agar kulit pulih. Dokter mata menyatakan, sekalipun Samuel sembuh, ia akan buta selamanya. Erna, istrinya, mendampingi setiap hari, membersihkan kotoran dan merawat dengan penuh cinta kasih. Namun yang lebih penting, ia menguatkan Samuel untuk selalu berharap kepada Tuhan. Keluarga besar menjalankan doa puasa memohon kesembuhan dari Tuhan. Akan tetapi, kondisi Samuel bertambah parah. Semua kuku di jari-jarinya copot; telapak tangan dan kaki menggelembung berisi air, telinga dan hidung melepuh mengeluarkan darah. Berat badannya menyusut hingga mencapai 25 kg.
Samuel kembali bernazar, “Tuhan ampuni saya, ... kalau saya sembuh, saya akan kembali melayani Engkau sepenuh waktu. Saya akan tinggalkan pekerjaan saya, saya akan bayar nazar saya. Terimalah tubuhku yang sudah busuk ini. Ampuni saya Tuhan....” Ia teringat “Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah.” (Mazmur 51:19)
Tanggal 23 Januari 1998, yaitu tanggal Samuel diperkirakan akan meninggal dunia, justru menjadi titik balik dalam proses kesembuhannya. Pagi itu, ternyata kulitnya mulai mengering dan sembuh. Matanya juga sudah bisa melihat walaupun masih agak buram. Bagian dalam tubuh seperti ginjal, lever, lambung, dan lain-lain semua normal kembali, dan ini sangat mengherankan semua tim dokter dan perawat. Bahkan, dua hari kemudian ia bisa berjalan. Kecuali matanya yang harus diteteskan air mata buatan, ia sudah pulih. Sejak tahun 1998-2010, biaya untuk membeli obat tetes mata ini sudah sekitar 1,6 milyar rupiah. Walaupun ia harus memakai binocular karena jarak pandangnya yang hanya 1 meter, Samuel mulai melayani Tuhan, bahkan sampai ke luar negeri. Ketika kondisinya membuat seorang polisi di bandara bertobat, ini doa Samuel, “Tuhan....kalau memang mata ini bisa membuat orang yang suka mengeluh menjadi bisa bersyukur, bisa membuat orang berdosa diselamatkan...., mata saya tidak disembuhkan tidak apa-apa Tuhan..., karena saya bersyukur mata ini bisa memuliakan Tuhan....” Pendeta Samuel Irwan Santoso, S.Th., MA, sejak tahun 2006 hingga sekarang menggembalakan jemaat di GBI Bontang, Kalimantan Timur. (Disadur dari tulisan Berty J. Waworuntu)
Rangkuman
Allah hadir dalam kehidupan setiap manusia sejak dalam kandungan sampai kepada kematiannya. Bahkan, rencana Allah untuk tiap orang sudah ada jauh sebelum dia dilahirkan. Mengakui kehadiran Allah dalam kehidupan kita, membuat kita dapat merasakan kekuatan, sukacita, dan damai sejahtera, sekalipun kita berada di dalam situasi yang tidak menyenangkan atau penuh dengan penderitaan. Hanya hidup dekat dengan-Nya yang membuat kita dapat menghargai hidup dengan kelimpahan anugerah-Nya, baik di saat suka maupun duka, bahkan saat menghadapi kematian. Bagi mereka yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, kematian di dunia merupakan jalan masuk menuju ke kehidupan kekal.
Sumber :
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA, 2021 Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti untuk SMA/SMK Kelas X Penulis: Julia Suleeman ISBN 978-602-244-465-7 (jil.1)
.png)

